A.      DEFINISI
Disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi.

B.       ETIOLOGI
1.         Penyebab utama adalah aritmia,
2.         Pencetus :
a.       penyakit jantung koroner,
b.      stress fisik
c.       kelainan bawaan,
d.      perubahan struktur jantung
e.       dan obat obatan.
3.         Terhentinya system pernafasan secara tiba-tiba yang dapat disebabkan karena:
4.         Penyumbatan jalan nafas : aspirasi cairan lambung atau benda asing.Sekresi air yang terdapat dijalan nafas, seperti pada saat tenggelam, edema paru, lender yang banyak.
5.         Depresi susunan saraf pusat yang disebabkan karena obat-obatan, racun, arus listrik tegangan tinggi, hipoksia berat, edema otak.
6.         Terhentinya peredaran darah secara tiba-tiba yang disebabkan :
a.         Hipoksia, asidosis, hiperkapnia karena penyakit paru atau karena henti perrnafasan secara tiba-tiba.
b.        Terganggunya fungsi system saraf, yang terjadi sebagai akibat terganggunya system pernafasan dan peredaran darah.

C.      TANDA dan GEJALA
1.         Kehilangan kesadaran mendadak.
2.         Tidak adanya denyut karotis dan femoralis.
3.         Henti nafas segera timbul setelahnya.
4.         hilangnya kesadaran;
5.         napas dangkal dan cepat bahkan apnea (tidak bernafas);
6.     tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri; dan tidak denyut jantung.
7.   Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
8.    Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran (collapse).
9.  Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
10.     Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
11.     Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri.
12.     Tidak ada denyut jantung.

D.      PATOFISIOLOGI
Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibat terjadinya penghentian sirkulasi efektif. Semua kerja jantung berhenti atau terjadi kedutan otot yang tidak seirama ( fibrasi ventrikel ). Terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar. Pupil mata mulai berdilatasi dalam 45 detik. Bias atau tidak terjadi kejang. Terdapat interval waktu sekitar 4 menit antara berhentinya sirkulasi dengan terjadinya kerusakan otak menetap. Intervalnya dapat bervariasi tergantung usia pasien.
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ – organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (sudden cardiac death).

E.       PEMERIKSAAN DIAGNOTIK
a.         Elektrokardiogram
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang – kadang di bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. EKG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2.         Tes Darah
a.         Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim – enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
b.        Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit – elektrolit yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidakseimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
c.         Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat – obatan tersebut merupakan obat – obatan terlarang.
d.        Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac arrest.
3.         Imaging Test
a.         Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b.        Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru – paru.
c.         Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung dan mengidentifikasi apakah daerah jantung  telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak atau apakah ada kelainan katup.
4.         Electrical System (electrophysiological) Testing and Mapping
Tes ini dilakukan setelah seseorang sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung. Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan dengan elektroda yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu menghentikan aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5.         Ejection Fraction Testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel  setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 – 70 persen. Fraksi ejeksi £ 40% meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung, pengobatan nuklir scan dari jantung atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6.         Coronary Catheterization (Angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X – ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

F.       MANAJEMEN PENATALAKSANAAN
1.         Respons awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar – benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
2.         Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner merupakan dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitif dapat dilaksanakan. Unsur – unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastik, obturator esophagus, ambu bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan pengembangan paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi dinding dada hanya satu orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga – rongganya secara berurutan sementara katup – katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 – 5 cm dan relaksasi dilakukan secara tiba – tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi serebral.
3.         Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia jantung, menstabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup :
a.         Pemasangan lini infuse;
b.        Tindakan intubasi dengan endotracheal tube;
c.         Defibrilasi/ kardioversi dan pemasangan pacu jantung.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan, bila O2 tidak tersedia dengan segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200 J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360 J dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi atau bila 2 atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap 10 – 15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien – pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan takaran 1 – 4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100 mg/ 5 menit hingga tercapai dosis total 500 – 800 mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan dosis 2 – 5 mg/menit) atau bretilium tosilat (dosis awal 5 – 10 mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5 – 2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang persisten, preparat epinefrin (0,5 - 1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat – saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
4.         Asuhan pasca resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsif terhadap teknik – teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2 – 4 mg/menit selama 24 – 72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung tersebut.  Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat – obatan dan gangguan metabolik yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
5.         Penatalaksanaan jangka panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30% pada 1 tahun, 45% pada 2 tahun dan angka mortalitas total hampir 60% pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostik ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti iskemik atau Intervensi medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30% atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10% selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30%, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.

0 comments :

Post a Comment