A.
DEFINISI
Disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary
arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan
tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan
seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi.
B.
ETIOLOGI
1.
Penyebab
utama adalah aritmia,
2.
Pencetus :
a.
penyakit
jantung koroner,
b.
stress fisik
c.
kelainan
bawaan,
d.
perubahan
struktur jantung
e.
dan obat – obatan.
3.
Terhentinya system pernafasan secara
tiba-tiba yang dapat disebabkan karena:
4.
Penyumbatan jalan nafas : aspirasi
cairan lambung atau benda asing.Sekresi air yang terdapat dijalan nafas,
seperti pada saat tenggelam, edema paru, lender yang banyak.
5.
Depresi susunan saraf pusat yang
disebabkan karena obat-obatan, racun, arus listrik tegangan tinggi, hipoksia
berat, edema otak.
6.
Terhentinya peredaran darah secara
tiba-tiba yang disebabkan :
a.
Hipoksia, asidosis, hiperkapnia karena
penyakit paru atau karena henti perrnafasan secara tiba-tiba.
b.
Terganggunya fungsi system saraf, yang
terjadi sebagai akibat terganggunya system pernafasan dan peredaran darah.
C.
TANDA
dan GEJALA
1.
Kehilangan kesadaran mendadak.
2.
Tidak adanya denyut karotis dan
femoralis.
3.
Henti nafas segera timbul setelahnya.
4.
hilangnya
kesadaran;
5.
napas
dangkal dan cepat bahkan apnea (tidak bernafas);
6. tekanan
darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa
pada arteri; dan tidak denyut jantung.
7. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat
tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
8. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran (collapse).
9. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest
tidak ditangani dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit.
10.
Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea
(tidak bernafas).
11.
Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak
ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri.
12.
Tidak ada denyut jantung.
D.
PATOFISIOLOGI
Henti
jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibat terjadinya
penghentian sirkulasi efektif. Semua kerja jantung berhenti atau terjadi
kedutan otot yang tidak seirama ( fibrasi ventrikel ). Terjadi kehilangan
kesadaran mendadak, tidak ada denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar. Pupil
mata mulai berdilatasi dalam 45 detik. Bias atau tidak terjadi kejang. Terdapat
interval waktu sekitar 4 menit antara berhentinya sirkulasi dengan terjadinya
kerusakan otak menetap. Intervalnya dapat bervariasi tergantung usia pasien.
Patofisiologi
cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ – organ tubuh akan mulai berhenti
berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral
atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan
berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest
tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit (sudden cardiac death).
E.
PEMERIKSAAN
DIAGNOTIK
a.
Elektrokardiogram
Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang – kadang di bagian tubuh
lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan
bahwa serangan jantung telah terjadi. EKG dapat mendeteksi pola listrik
abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian
mendadak.
2.
Tes Darah
a.
Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim – enzim
jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan
jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
b.
Elektrolit Jantung
Melalui
sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit – elektrolit yang ada pada
jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral
dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidakseimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden
cardiac arrest.
c.
Test Obat
Pemeriksaan
darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk
resep tertentu dan obat – obatan tersebut merupakan obat – obatan terlarang.
d.
Test Hormon
Pengujian
untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac
arrest.
3.
Imaging Test
a.
Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax
menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat
menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b.
Pemeriksaan nuklir
Biasanya
dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran
darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium
disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan
radioaktif mengalir melalui jantung dan paru – paru.
c.
Ekokardiogram
Tes ini
menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung dan mengidentifikasi
apakah daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak atau apakah ada kelainan katup.
4.
Electrical System
(electrophysiological) Testing and Mapping
Tes ini
dilakukan setelah seseorang sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari
serangan jantung belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba
untuk menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung. Tes ini dapat
membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan dengan elektroda yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai
tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran
impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang
mungkin memicu menghentikan aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk
mengamati lokasi aritmia.
5.
Ejection
Fraction Testing
Salah satu
prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa
baik jantung mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa
jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada
persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung.
Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 – 70 persen. Fraksi ejeksi £ 40% meningkatkan risiko sudden
cardiac arrest. Dokter dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara seperti
dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung, pengobatan
nuklir scan dari jantung atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6.
Coronary
Catheterization (Angiogram)
Pengujian
ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau penyumbatan.
Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan
prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis
(kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam
jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X – ray
dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara
kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
F.
MANAJEMEN
PENATALAKSANAAN
1.
Respons awal
Respons awal
akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar – benar disebabkan oleh
henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit dan ada tidaknya denyut
nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan
segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.
Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti
jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat dengan
nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika
keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda
yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan
tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan
sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia
ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk
menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi
ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah
membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut
dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi
mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika
terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest)
yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat
dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
2.
Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
Tindakan ini
yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner merupakan dukungan
kehidupan dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan
intervensi yang definitif dapat dilaksanakan. Unsur – unsur dalam tindakan RKP
terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi
paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila
tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas orofaring
yang terbuat dari plastik, obturator esophagus, ambu bag dengan masker.
Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan pengembangan paru yang
dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau
terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara berturut,
setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi dinding dada
hanya satu orang.
Kompresi
dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung
untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga
– rongganya secara berurutan sementara katup – katup jantung yang kompeten
mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan pada sternum
bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan
dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua
lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan
dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan
kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 – 5 cm dan
relaksasi dilakukan secara tiba – tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang
sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan
kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat
dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis
mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan
oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai
dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini
menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan aliran
karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi serebral.
3.
Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
Tindakan ini
bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia
jantung, menstabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung)
dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan
ini mencakup :
a.
Pemasangan lini infuse;
b.
Tindakan intubasi dengan endotracheal tube;
c.
Defibrilasi/ kardioversi dan pemasangan pacu jantung.
Ventilasi
dengan O2 atau udara ruangan, bila O2 tidak tersedia
dengan segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera.
Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting untuk
resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera
dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi
kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan
arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan,
kejutan listrik sebesar 200 J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan
yang lebih tinggi hingga maksimal 360 J dapat dicoba bila kejutan pertama tidak
berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih
belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi atau bila 2 atau 3 kali
percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan
analisis gas darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3
intravena yang sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi
sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah
yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis setalah
defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada
awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap 10 – 15 menit.
Setelah
upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil atau
tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini
diulang dalam waktu 2 menit pada pasien – pasien yang memperlihatkan aritmia
ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan fibrilasi ventrikel.
Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan takaran 1 – 4
mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut,
pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100 mg/ 5 menit hingga tercapai
dosis total 500 – 800 mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu
dengan dosis 2 – 5 mg/menit) atau bretilium tosilat (dosis awal 5 – 10 mg/kg
dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5 – 2 mg/menit), dapat
dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang persisten, preparat epinefrin
(0,5 - 1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama
resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat – saat diantara setiap pemberian
preparat tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara
pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena
tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang
hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus
VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien
yang menerima dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti
jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan
cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar
tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi
kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan
hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau
dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini
sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur,
tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk.
Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder
terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan
respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada
pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang
menyumbat di jalan napas.
4.
Asuhan pasca
resusitasi
Fase
penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsif terhadap teknik – teknik dukungan kehidupan (life support) dan
mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2 – 4 mg/menit selama 24 – 72 jam setelah serangan.
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi,
angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak
stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh
kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir
(outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai penyakit
nonkardiak adalah buruk dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi,
perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari
serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal,
penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat – obatan
dan gangguan metabolik yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup
baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara
gangguan transien dikoreksi.
5.
Penatalaksanaan
jangka panjang
Bentuk
perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis
karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar komunitas. Pasien
yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang
mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik
yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan
agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun
1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah
sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30% pada 1 tahun, 45% pada 2
tahun dan angka mortalitas total hampir 60% pada 2 tahun. Perbandingan historis
mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang
baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji
intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara
pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut dan
transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti
jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun,
uji diagnostik ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan
ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya.
Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat
penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan
apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik merupakan
penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti iskemik atau Intervensi
medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik.
Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan
stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat
diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data
dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.
Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan
antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan
terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30% atau lebih, angka henti
jantung rekuren adalah kurang dari 10% selama tahun pertama tindak lanjut.
Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30%,
tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari
kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan
terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik
dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable
cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia
(seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap
sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan
hidup prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi
obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan
dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang
lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan
mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan
Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan
perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.