BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Sindrom nefrotik (SN) ialah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan anatomi dan fisiologi glomerulus ?
2.      Apa pengertian sindrom nefrotik ?
3.      Jelaskan etiologi sindrom nefrotik ?
4.      Apa saja manifestasi klinis sindrom nefrotik ?
5.      Jelaskan klasifikasi sindrom nefrotik ?
6.      Jelaskan patofisologi sindrom nefrotik ?
7.      Jelaskan pathway sindrom nefrotik ?
8.      Jelaskan pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik ?
9.      Jelaskan komplikasi sindrom nefrotik ?
10.  Bagaimana penatalaksanaan sindrom nefrotik ?
11.  Jelaskan asuhan keperawatan sindrom nefrotik ?
C.    TUJUAN
1.      Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatn dengan sindrom nefrotik serta faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah tersebut.
2.      Tujuan Khusus
a.       Menjelaskan anatomi dan fisiologi glomerulus
b.      Menjelaskan pengertian sindrom nefrotik
c.       Menjelaskan etiologi sindrom nefrotik
d.      Menjelaskan manifestasi klinis sindrom nefrotik
e.       Menjelaskan klasifikasi sindrom nefrotik
f.        Menjelaskan patofisologi sindrom nefrotik
g.      Menjelaskan pathway sindrom nefrotik
h.      Menjelaskan pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik
i.        Menjelaskan komplikasi sindrom nefrotik
j.        Menjelaskan penatalaksanaan sindrom nefrotik
k.      Menjelaskan asuhan keperawatan sindrom nefrotik

D.      MANFAAT
1.         Memahami anatomi dan fisiologi glomerulus
2.         Memahami pengertian dari sindrom nefrotik
3.         Memahami etiologi dari penyakit sindrom nefrotik
4.         Memahami manifestasi klinis sindrom nefrotik
5.         Mengetahui klasifikasi sindrom nefrotik
6.         Memahami patofisologi sindrom nefrotik
7.         Memahami pathway sindrom nefrotik
8.         Memahami pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik
9.         Mengetahui komplikasi sindrom nefrotik
10.     Memahami penatalaksanaan sindrom nefrotik
11.     Mengetahui asuhan keperawatan sindrom nefrotik

E.     METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang diperoleh dari buku ataupun sumber dari internet.

F.     SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari 3 bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I  : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : Pembahasan yang terdiri dari anfis glomerulus, definisi, etiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, penatalaksanaan klien dengan sindrom nefrotik.
BAB III  :  Asuhan keperawatan pada klien sindrom nefrotik
BAB IV  :  Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran

























BAB II
PEMBAHASAN

A.      ANATOMI dan FISIOLOGI GLOMERULUS
 














Glomerulus merupakan gulungan pembuluh darah kapiler yang berada di dalam sebuah kapsul sirkuler, yang disebut kapsula Bowman. Secara bersamaan, glomerulus dan kapsula.
Bowman disebut dengan korpuskulum renalis. Ginjal manusia memiliki sekitar satu jutaglomerulus di dalamnya. Glomerulus terdiri atas tiga tipe sel intrinsik: sel endotel kapiler, selepitel yang dipisahkan dari sel endotel oleh membrana basalis glomerular, serta sel mesangial
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.



B.     PENGERTIAN








                          Sindrome Nefrotik                 Normal
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein dalam urine secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum koesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda – tanda tersebut dijumpai sampai disetiap kondisi yang sangat merusak membrane kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus.
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004)
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam air kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah – penimbunan garam dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.

C.    ETIOLOGI
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1.      Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2.      Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
a.       Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
b.      Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
c.       Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
d.       Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya)
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

D.    TANDA dan GEJALA
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1.      Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2.      Proteinuria dan albuminemia.
3.      Hipoproteinemi dan albuminemia.
4.      Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
5.      Lipid uria.
6.      Mual, anoreksia, diare.
7.      Anemia, pasien mengalami edema paru.

E.     KLASIFIKASI
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1.      Sindrom Nefrotik Lesi Minimal (MCNS : minimal change nephrotic syndrome)
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.


2.      Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3.      Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

F.     PATOFISIOLOGI
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).


























G.    PATHWAY
























H.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Laboratorium
a.       Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
b.      Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
c.       Biopsi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

H.    KOMPLIKASI
Menurut Rauf, .2002 : .27-28 :
1.      Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
  1. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
  2. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
  3. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.

I.       PENATALAKSANAAN
1.      Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2.      Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3.      Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4.      Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.

5.      Kemoterapi:
a.       Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
b.      Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik (imunosupresif). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
c.       Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
d.      Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
e.       Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
f.        Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.






BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SINDROM NEFROTIK

A.   PENGKAJIAN
1.      Identitas
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada  usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.
2.      Riwayat Kesehatan
a.       Keluhan utama
Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menurun
b.      Riwayat penyakit dahulu
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia.
c.       Riwayat penyakit sekarang
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
3.      Riwayat Kesehatan Keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
4.         Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Tidak ada hubungan.
5.         Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
6.         Imunisasi
Tidak ada hubungan.
7.         Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a.       Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8
b.      Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
c.       Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.
d.      Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
e.       Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
f.        Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
g.      Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
8.      Riwayat Nutrisi
Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan dalam keluarga. Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB terukur dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk), < 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
Pengkajian Persistem
1.      Sistem pernapasan
Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
2.      Sistem kardiovaskuler
Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg, hipertensiringan bisa dijumpai.
3.      Sistem persarafan
Dalam batas normal.
4.      Sistem perkemihan
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.


5.      Sistem pencernaan
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii.
6.      Sistem musculoskeletal
Dalam batas normal.
7.      Sistem integument
Edema periorbital, ascites.
8.      Sistem endokrin
Dalam batas normal
9.      Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
10.  Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.

B.     PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Gangguan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
2.      Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
4.      Hipertensi b.d. kontriksi pembuluh darah (Doengoes, 2000: 177)
5.      Anemia b.d produksi sel darah merah menurun  (Carpenito,1999: 204)
6.      Proteinuria b.d. protein tidak mengalami filtrasi (Doengoes, 2000: 177)
7.      Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
8.      Resiko Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas. (Wong,Donna,2004:550)
9.      Gangguan pola eliminasi:ur b.d. oliguri.

C.      INTERVENSI KEPERAWATAN
1.      Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan  : setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam pola pernafasan pasien kembali efektif.
Kriteria Hasil : Frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal


Intervensi:
a.       Auskultasi bidang paru
R: penurunan area ventilasi menujukkan adanya atelektasis dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan volume cairan.
b.       Berikan posisi semi fowlerkan
R: Memudah expansi dada atau ventilasi dan mobilisasi sekret.
c.       Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
R: memaksimalkan ogsigen untuk penyerapan vaskuler, pencegahan atau pengurangan hipoksia
d.       Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi
R: menghilangkan nyeri, meningkatkan pernafasan nyaman,upaya batuk maksimal

2.      Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma (Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan : tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.
Kriteria Hasil : menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
a.       Timbang berat badan/ hari
R: penimbangan berat badan harian adalah pengawasan status cairan terbaik. Peningkatan BB lebih dari 0,5 kg/hari diduga ada retensi cairan
b.      Ukur input dan output.
R:  membantu memperkirakan kebutuhan penggantian cairan
c.       Pantau TD dan CVP
R: takikardia dan hipertensi terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine
d.      Awasi berat jenis urine
R: mengukur kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urine. Pada gagal intrarenal berat jenis biasanya sama/kurang dari 1,010 menunjukan kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine.



e.       Evaluasi derajat edema
R: edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh, contoh tangan, kaki, area lumbosakral. BB dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting terdeteksi.
f.        Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dan GJK dibuktikan dengan adanya bunyi nafas tambahan,bunyi jantung ekstra.
g.      Kolab dengan tim medis dalam pemberian obat diuretic, contoh furosemid(lasix), manitol (osmitrol)

3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil  : tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
a.       Kaji pemasukan diet
R:  membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
b.      Berikan makan sedikit tapi sering
R: meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik/ menurunnya peristaltic
c.       Lakukan oral hygiene
R:  perawatan mulut menyejukan, meminyaki, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman
d.    Timbang BB/hari
R:  pasien puasa/katabolic akan secara normal kehilangan 0,2-0,5 kg/hari.
e.    Kolab dengan ahli gizi dalam pemberian diet
R: menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.






BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sindroma Nefrotic (SN) adalah gambaran klinis dengan ciri khusus proteinuri massif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari (dalam praktek, cukup > 3,0-3,5 gr per 24 jam) disertai hipoalbuminemi kurang dari 3,0 gram per ml. Pada SN didapatkan pula lipiduria, kenaikan serum lipid lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida, serta adanya sembab sebagai akibat dari proteinuri masif dan hipoproteinemi. Beberapa ahli penyakit ginjal menambahkan kriteria lain :
1.      Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross bodies.
2.      Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida
3.      Sembab.
Masalah keperawatan
1.      Gangguan pola nafas
2.      Kelebihan volume cairan
3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4.      Hipertensi
5.      PK :Anemia
6.      Proteinuria
7.      Intoleransi aktivitas
8.      Resiko Gangguan integritas kulit
9.      Gangguan pola eliminasi urin

B.     SARAN
1.      Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
2.      Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
3.      Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.



DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2003). Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. EGC: Jakarta.
Carpenito, L. J.(1999). Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. EGC: Jakarta.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. (2000). Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. EGC: Jakarta.
Donna L, Wong. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. EGC: Jakarta.
Husein A Latas. (2002). Buku Ajar Nefrologi. EGC: Jakarta.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.

Price A & Wilson L. (1995). Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. EGC: Jakarta.

0 comments :

Post a Comment