BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang
Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia, terletak di rongga perut sebelah kanan dan mempunyai fungsi amat penting pada proses metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti ammonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus.
Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil, 1998).
Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopati hepatik atau hepatic encephalopathy. Ada dua jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure.
Ensefalopati hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi.
Pengobatan dini ensefalopati hepatik meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada Ensefalopati Hepatik kronik, untuk mencegah terjadinya serangan ensefalopati hepatik akut. Karena terjadinya episode ensefalopati hepatik akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan keadaan kompensasi selama mungkin.
Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya ensefalopati hepatik belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan asam amino aromatik (AAA) dan asam amino rantai cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada astrosit terutama terjadi pada ensefalopati hepatik akut (fulminant hepatic failure).

1.2         Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan Ensefalopati Hepatic ?

1.3         Tujuan Penulisan
     a.    Menjelaskan definisi Ensefalopati Hepatic
     b.    Menjelaskan etiologi Ensefalopati Hepatic
     c.    Menjelaskan klasifikasi Ensefalopati Hepatic
     d.   Menjelaskan patofisiologi Ensefalopati Hepatic
     e.    Menjelaskan manifestasi klinis Ensefalopati Hepatic
     f.     Menjelaskan pemeriksaan penunjang Ensefalopati Hepatic
     g.    Menjelaskan penatalaksanaan medis Ensefalopati Hepatic
     h.    Menjelaskan prognosis Ensefalopati Hepatic
      i.      Menjelaskan askep pasien dengan Ensefalopati Hepatic

1.4         Manfaat Penulisan
1.4    1   Manfaat teorotis
Menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan pada pasien dengan Ensefalopati Hepatic.
1.4     .2   Manfaat praktis
    a.    Tenaga keperawatan
Agar tenaga keperawatan mampu menerapkan dan melaksanakan asuhan keperawatan.
   b.   Mahasiswa
Agar mahasiswa menambah referensi tentang Ensefalopati Hepatic.
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Definisi
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai pada pasien yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin, 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati.
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

2.2     Anatomi dan Fisiologi Hepar
2.2.1    Struktur Hepar
Hepar adalah kelenjar yang paling besar dalam tubuh manusia dengan berat 1500 gram atau 1,5 kg. Hepar dibagi menjadi dua lobus, yaitu lobus kiri dan kanan. Lobus kanan dibagi atas dua segmen, yaitu anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis.
Struktur mikroskopis setiap lobus dibagi menjadi lobulus, yang merupakan badan heksagonal yang terdiri dari lempeng-lempeng  hati yang berbentuk kubus. Di antara lempeng-lempeng hati terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang dibatasi oleh sel fagostik dan sel kupffer. Sel kupffer merupakan sistem monosit-magrofag yang fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing yang masuk ke hati.

Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hati. Darah yang mengalir ke dalam hati berasal dari dua sumber. Kurang lebih 75% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan nutrien dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut masuk kedalam hari lewat arteri hepatika dan banyak mengandung oksigen.

2.2.2    Fungsi Hati
    1. Metabolisme Karbohidrat
    2.  Metabolisme Protein
    3.  Metabolisme Lemak
    4.  Metabolisme Bilirubin
    5.  Detoksifikasi
    6.  Penyimpanan Mineral dan Vitamin

2.3     Etiologi
Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana racun-racunnya dibuang. Namun, pada ensefalopati hepatik, yang terjadi adalah:
a.       Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu.
b.      Telah terbentuk hubungan antara system portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati.
c.       Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system portal) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.

Karena hal tersebut, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak. Bahan yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui. Tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah, misalnya ammonia dapat memegang peranan penting dalam mempengaruhi fungsi otak.
Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh:
     a.    Infeksi akut.
     b.    Pemakaian alkohol.
    c.    Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein dalam darah.
    d.   Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal,  juga bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa mengenai otak.
     e.   Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic (azotemia, hipovolemia).
f.   Obstipasi meningkatkan produksi, absorpsi ammonia dan toksin nitrogen lainnya.

2.4     Klasifikasi
1. Menurut cara terjadinya, yaitu:
        a.       Ensefalopati hepatik tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, atau dapat pula pada sirosis hati.
       b.      Ensefalopati hepatic tipe kronik
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
    2.  Menurut faktor etiologinya, yaitu:
      a.    Ensefalopati hepatic primer (endogen)
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati (nekrosis sel hati yang meluas). Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal atau kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
     b.    Ensefalopati hepatic sekunder (eksogen)
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
       1)      Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah  
                -       Dehidrasi / hipovolemia
               -       Parasintesis abdomen
               -       Diuresis berlebihan
      2)      Pendarahan gastrointestinal
      3)      Operasi besar
      4)      Infeksi berat
      5)      Intake protein berlebihan
      6)      Konstipasi lama yang berlarut-larut
      7)      Obat – obat narkotik atau hipnotik
      8)      Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
      9)      Azotemia

2.5     Patofisiologi
Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati.
Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.
Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia dan neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam patoganesis ensefalopati hepatic. Metabolit lain yang dapat berperan pada ensefalopati hepatic meliputi mercaptans, short chain fatty acid, neurotransmitter palsu. Kadar berlebihan dari gama amino butyric acid (GABA), yaitu suatu penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan faktor penting terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatic. Kenaikan kadar GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk mengeluarkan GABA yang berasal dari usus.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati hepatik, yaitu:
a.       Ammonia
Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
b.      Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat (SSP). Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma.
c.       Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik.
d.      Asam lemak rantai pendek
Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab ensefalopati hepatik.
e.       Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu.
f.       Glukagon

Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis.
g.      Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli.

2.6     Manifestasi Klinis
Gejalanya merupakan akibat dari menurunnya fungsi otak,yang utama adalah gangguan kesadaran. Pada stadium awal, perubahan hampir tidak terlihat yaitu terjadi pada logis kepribadian dan tingkah laku, suasana hati penderita bisa berubah dan terjadi gangguan dalam menyatakan pendapatnya.
Sejalan dengan perkembangan penyakit penderita menjadi mengantuk dan bingung, malas bergerak dan bercakap-cakap sering terjadi disorientasi. Pada akhirnya penderita akan kehilangan kesadarannya dan jatuh kedalam keadaan koma.
Secara garis besar gejala klinis ensefalopati hepatik terbagi menjadi:
2.6.1        Ensefalopati hepatik sub klinis
a.         Disebut juga “latent hepatic encephalopathy
b.        Dari penelitian disimpulkan bahwa 45%-85% penderita sirosis hati sudah mengidap ensefalopati hepatik sub klinis.
c.         Belum di temukan atau terlihat gejala dan tanda penyakit.
d.        Dapat di deteksi dengan test uji hubungan angka (number connection test).
Number connection test (NCT) :
-       Uji psikomotorik untuk deteksi dini ensefalopati hepatik sub klinis.
-       Syarat pasien tidak buta huruf.
-       Sederhana, praktis,aman, murah.
-       Bermanfaat pula untuk monitoring dan evaluasi hasil terapi.
-       Pasien diminta menyambung angka secara urut no.1-25 secepat mungkin.
-       Ada korelasi antara lamanya waktu yang di perlukan untuk menyelesaikan NCT ( uji hubung angka) dengan kondisi enesefalopati hepatik pasien ( makin lama ∞ makin buruk)
-       Pada kondisi baik uji ini harus dapat di selesaikan ± 30 detik
Skala NCT (menurut kriteria West Haven):
Skala  NCT
Lamanya  penyelesaian NCT
0
15-30 detik
1
31-50 detik
2
51-80 detik
3
81-120 detik
4
>120 detik atau tidak dapat diselesaikan

2.6.2        Ensefalopati Hepatik klinis, ada 4 stadium yaitu:
a.       Stadium 1 (prodromal : awal)
Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi.
Tanda-tandanya:
-          Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan intermiten dari postur.
-          Kesulitan bicara
-          Kesulitan menulis
-          EEG (elektroensefalografi) (+)
b.      Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan) gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan bergetar), pengendalian sfingter kurang, kebingungan, disorientasi, mengantuk, dan asteriksis.
c.       Stadium 3 (Stupor)
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok, penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan, asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek.
d.      Stadium 4 (koma) pasien koma tidak sadarkan diri
Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul refleks hiperaktif dan tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya, dan tonus otot hilang.

2.7         Pemeriksaan Penunjang
2.7.1    Hematologi
     a.    Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
     b.    Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
2.7.2        Biokimia darah
      a.    Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
      b.    Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
      c.    Kadar amonia darah.
      d.   Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
2.7.3        Urin dan tinja rutin
2.7.4        EEG (Elektroensefalografi) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis.
2.7.5        CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).
2.7.6        Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

2.8     Penatalaksanaan
2.8.1    Ensefalopati hepatik tipe akut
    1) Tindakan umum
-          Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu dengan memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
-          Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
-          Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
   2) Tindakan khusus
-       Mengurangi pemasukan protein
a.       Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b.      Diet rendah protein (nabati 20 gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/hari).
-       Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
a.       Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
b.      Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
c.       Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4
d.      Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.  Rifaximin (derifat rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
-       Obat-obatan lain
a.         Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
b.         L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
c.         Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain, yaitu fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
d.        Vitamin K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
-       Pengobatan radikal
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati.

2.8.2    Ensefalopati hepatik tipe kronik
Prinsip-prinsip penatalaksanaan ensefalopati hepatik tipe kronik adalah sebagai berikut:
a.       Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg berat badan terutama protein nabati.
b.      Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c.       Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram/hari.
d.      Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti ensefalopati hepatik tipe akut.
e.       Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f.       Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk ensefalopati hepatik kronik stadium III-IV.

2.9     Prognosis
Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita ensefalopati hepatik tergantung dari :
a.         Penyakit hati yang mendasarinya.
b.        Faktor-faktor pencetus.
c.         Usia, keadaan gizi.
d.        Derajat kerusakan parenkim hati.
e.         Kemampuan regenerasi hati.


BAB IV
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian.
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.

4.2     Saran
4.2.1    Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang tentang penatalaksanaan pada pasien dengan ensefalopati hepatik dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada penyakit yang diderita pasien
1.2.2        Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang ensefalopati hepatik dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan penyakit tersebut.
1.2.3        Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang ensefalopati hepatik serta bagaimana penyebaran ensefalopati hepatik untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
 
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary et al. 2008. Klien Gangguan Hati : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doenges E. Marilynn et al. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Herdman T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Pearce C. Evelyn. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta : EGC
Tri Harsono. 2008. Ensefalopati Hepatikum
http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver
 

0 comments :

Post a Comment