BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tahlilan merupakan tradisi yg dilakukan
sebagian umat muslim khususnya di Indonesia,akan tetapi banyak masyarakat awam
yg belum tahu mengenai apa sebenarnya makna tahlilan itu sendiri. Menurut
sebagian umat islam di Indonesia tahlilan merupakan konsep ibadah bahwa pahala
dari bacaan mereka akan sampai kepada si mayat yg akan mendapat pahala atau
logikanya seperti ini kita yang beramal,orang lain (si mayat) yang mendapat
pahala. Padahal,dengan jelas rasullulah menegaskan jika manusia meninggal akan
terputus amalannya kecuali 3 hal yaitu sedekah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan
anak yang sholeh yang mendoakannya.
B. Masalah
1. Pandangan muhammadiyah mengenai
tradisi tahlilan setelah orang meninggal
2. Akibat yang ditimbulkan dalam
melakukan tradisi tahlilan setelah orang meninggal
3. Dalil mengenai tahlilan
4. Hukum tahlilan
C. Tujuan
Untuk mengetahui makna tahlilan yang menjadi tradisi sebagian umat
muslim di Indonesia dan berusaha mengajak masyarakat awam untuk meninggalkan
tradisi ini dengan cara menjelaskan apa itu makna tahlilan yang sebenarnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pandangan
Muhammadiyah Mengenai Tradisi Tahlilan Setelah Orang Meninggal
Muhammadiyah, mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan
Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan. Dari
Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu
sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di
antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan
hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama dengan
meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409),
juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian
dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang
jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita
di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut:
al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi
Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd
al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya
melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan,
kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang
merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat
dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit,
apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh
dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut
Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan
shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya,
atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan
sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut
hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang
ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa
disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya biayanya berasal dari harta anak
yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien
(Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Imam
Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan
berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu
adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Mestinya
tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan makanan
untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit untuk memberi
makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya. Bahkan hal tersebut dilakukan
tidak hanya sekali tetapi berulang, seperti hitungan tujuh, 40, 100, 1000 hari
dan lainnya.
Lalu, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa
harus tujuh, 40, 100, atau 1000 hari? Dalam Islam tidak ada penetapan yang
demikian. Maka satu-satunya alasan yang tepat adalah hal ini merupakan tradisi
yang berasal di luar konteks Islam.
B. Akibat Yang Ditimbulkan Dalam Melakukan
Tradisi Tahlilan Setelah Orang Meninggal
Mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah
melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat
akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2.
Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru
kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang
berduka cita, bukan sebaliknya.
C. Dalil Mengenai Tahlilan
Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian
Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far,
karena telah datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi
juz 2, hal 234, dia berkata hadist ini hasan). Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh
keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama
sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah
Muhadzab, juz 5 hal 286).
D. Hukum Tahlilan
Sunnahkah
Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum
pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.
berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukanSunnah.
Kalau seandainya hukumnya Mubah,
maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan
dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan
buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa,
yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan
berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pandangan muhammadiyah tahlilan merupakan
sesuatu yang mengandung unsur takhayul,bid’ah dan khurafat adalah sesuatu yang
wajib di tinggalkan karena tidak ada nilainya atau manfaatnya serta tidak ada dalil
dan sunnah rasullah yang mengatakan untuk melakukan tahlilan setelah orang
meninggal.Jadi,kita sebagai umat muslim hendaknya meninggalkan tradisi seperti
ini.
B. Saran
Setelah menguraikan
secara sistematis, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Saran penulis kepada pembaca agar dapat memahami dan mempelajari
makalah ini dengan sebaik mungkin dan dapat menerapkan dan memahami apa itu
tahlilan dan bagaimana cara kita menyikapinya dalam kehidupan sehari-hari.
January 14, 2014 at 2:24 AM
pantes orang yg buat makalah ini menganggap BID'AH...