1.
Paham –
paham muhammadiyah
a. Sumber ajaran islam
Muhammadiyah, sebagai gerakan
keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu
berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk
pada ajaran Islam yang bersumber dari dua sumber primer ajaran ini. Yakni
Alquran dan Assunnah Almaqbulah. Hal
ini bisa kita lihat di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 ayat 1.
Hanya saja istilah Assunnah Almaqbulah
baru digunakan setelah diresmikan istilahnya pada Keputusan
Musyawarah Nasional Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam di Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk
mencapai maksud dan tujuannya yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar
dan tajdid yang
diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang
keagamaan dan dakwah ditangani oleh dua majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid
(MTT) dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
b. Pemahaman
Ajaran Islam
Hal-hal yang berkaitan dengan paham
agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai
berikut:
1)
Agama, yakni
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah
dalam Alquran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah
Lima, Al-Masail Al-Khams tentang al-Din).
2)
Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para
Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil,
duniawi dan ukhrawi .
3)
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran
Islam yang meliputi bidang-bidang:
a.
‘Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah
Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat,
tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b.
Akhlaq: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan
Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c.
Ibadah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah
yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia;
4)
Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang
ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T.
5)
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata
karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama
yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan
dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta
alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
6)
Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam
adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang
telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang
tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada
terdapat nash sharih dalam Alquran dan Sunnah maqbulah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada
melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf
(Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
7)
Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) .
Hal yang penting yang perlu
menjadikan pamahamaman bersama bahwa paham islam dalam muhammadiyah bersifat
komprensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agam dalam pandangan
atau paham muhammadiyah tidak lah sepotong-potong, serpihan-serpihan dan hanya
hukum atau fikih belaka. Paham agama yanh id tanamkan bukan ajaran nya yang
terbatas, tetapi luas dan multiaspek karen amuhammadiyah merupakan gerakan
islam, mak paham tentang islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang
fundamental, yang yang intinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham
islam bagi seluruh warga muhammadiyah. Kemudian menyebarkan/mensosialisasikan
dan mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga islam yang
didakwahkan muhammadiyah membawa/mwnjadi rahmatan lil-‘alamin.
Muhammdiyah bergerak dalam berbagai
bidang kehidupan manusia yang antara lain dapat diklasisfikasikan sebagai
berikut :
a.
Bidang Aqidah
Aqidah
Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya.
Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber utama
ajaran Islam itu disebut ‘aqidah
shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran
teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama,
nash sebagai dasar rujukan. diyakini sepenuhnya bahwa hanya
dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan
berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema
sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan:
“Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan
dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Jelaslah
bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan
dengan berita-berita yang mutawatir.
Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai
berikut: “ Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir, Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali
dalam bidang aqidah, dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada
ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus
diterima.”
Ketentuan-ketentuan
tersebut menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari
Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam
aliran-aliran teologi pada umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang
berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah
bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
Kedua,
keterbatasan
peranan akal dalam soal aqidah Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang
kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai
berikut : “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak
tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak
mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan
sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
Ketiga,
kecondongan
berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah
ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau
dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan
bila ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat,
percaya
kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah
satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti
formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima,
menetapkan
sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan
Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail.
Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada
aqidah salaf.
b.
Bidang Hukum
Muhammadiyah
melarang anggotanya bersikap taqlid,
yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan
argumentasi yang logis. Dan sikap keberagaman yang dibenarkan oleh Muhammadiyah
adalah ittiba’, yaitu
mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta
mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah
mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun
pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hukum yang dikembangkan
oleh Majlis Tarjih antara lain:
1.
Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang
terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan
hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2.
Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi
pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3.
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan
bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan
diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis
Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
4.
Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa
yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan
cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang
dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya.
5.
Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan
akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
c.
Bidang Akhlak
Mengingat
pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu
sendi dasar sikap keberagamaannya.
Akhlak
adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar,
syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah). Dan sombong,
takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Untuk
menghidupkan akhlaq yang islami,
maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama
menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar
berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah
Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan
dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui
pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferoritas berangsur-angsur habis
kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim yang disemangati oleh Surat Ali
Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam
dapat digambarkan sebagai berikut:
- Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
- Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
- Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
- Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
- Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173).
d.
Bidang Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah
adalah aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia diatas bumi
ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan
antar negara dan lain sebagainya.Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih
disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk
tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya
kemaslahatan umat.”
Adapun
prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1.
Menganut prinsip mubah.
2.
Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada
yang dipaksa.
3.
Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan
untuk menarik mamfaat dan menolak kemudharatan.
4.
Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
2. Isme-isme moderen
a.
Faham Sekulerisme
Menurut Ensiklopedi Britania misalnya,
menyebutkan bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang
bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi
kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang
sengat cenderung kepada Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme
tampil untuk menghadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada
abad kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap
aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan dan kemungkinan terealisasinya ambisi
mereka terhadap dunia.
Sedangkan menurut Kamus Dunia Baru oleh
Wipster merinci makna Sekularisme adalah Semangat Keduniaan atau orientasi
“duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari sekumpulan
prinsip dan praktek (practices) yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah.
Keyakinan bahwa agama dan urusan-urusan gereja tidak ada hubungannya sama
sekali dengan soal-soal pemerintahan, terutama soal pendidikan umum.
Oleh: Dr. Ugi
Suharto Jadi dari berbagai macam pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa Sekularisme ialah memisahkan agama dari
kehidupan individu atau sosial dalam artian agama tidak boleh ikut berperan dalam
pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum. Dengan kata lain sekularisme ialah
memisahkan Allah Ta’ala dari hukum dan undang-undang mahluk-Nya. Allah tidak
boleh ikut mengatur mereka seakan-akan tuhan mereka adalah diri mereka sendiri,
berbuat sesukanya dan membuat hukum sesuai seleranya.
b. Faham Pluralisme
Agama
Pluralisme sering
diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama,
kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada
sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ yang dianggap menjadi
pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik
horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik
dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama
tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.
Di
Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang
paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Sejak
awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya
Pluralisme agama adalah sebuah konsep
yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap
agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
·
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa
agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan
dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan,
setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
·
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau
lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif
sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang
terdapat dalam agama-agama.
·
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim
untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja
sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.
·
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang
merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama
ataupun denominasi yang berbeda-beda.
·
Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of
The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama,
adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap
kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing
agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan
menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme
berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b)
dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu
kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada
pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang
sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth),
e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau
semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are
equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’
Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
Dari
sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah
mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga
terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun.
Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme
mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Pluralisme
Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS
al-Hujurat [49]: 13).
Ayat
ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa
serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali
tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga
berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka menyembah selain Allah
tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah
orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).
Ayat
ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada
selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide
pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan
menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai
di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah
SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]:
85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani,
ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka
sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang
perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme agama
apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya,
mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid disamakan dengan Kristen yang
mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang
mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan
agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi
tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya
bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka.
Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena
itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru
para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam.
Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Lahirnya gagasan
mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua
di antaranya adalah:
·
Pertama, adanya keyakinan masing-masing
pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah
yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa
merekalah umat pilihan.
Menurut
kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering
memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena
itu, menurut mereka, diperlukan
gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan
berpotensi memicu konflik.
·
Kedua, faktor kepentingan ideologis
dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu
demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme
agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang
digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Faham ini sangat
berbahaya khususnya bagi umat islam bahaya pertama adalah penghapusan
identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya
mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i
bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah
dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh
Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang
sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam
negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam
pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain
pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai
agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah
pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah
al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan
alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap
berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
Sebaik nya para
tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam menggunakan istilah pluralisme.
Apalagi mengajak orang lain untuk menjalankannya. Di atas segalanya, mereka
harus lebih mengedepankan isu ”iman”, bukan lainnya. Dalam masalah pluralisme
ini misalnya, jangan hanya karena "dipaksakan", lalu istilah itu
begitu saja dipakai. Sebab, setiap istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu
saja. Ia mengandung nilai-nilai, konsep dan ideologi bangsa yang melahirkannya.
Jika datang dari Barat misalnya, maka ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat).
Demikian juga dengan istilah pluralisme.
c.
Liberalisme dan Jaringan Islam Liberal
( JIL)
Liberalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan negara/pemerintah. Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas
menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup
ini adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun
dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat
atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasankemerdekaan
individu. Setiap individu harus memiliki kebebasankemerdekaan,
seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan negara/pemerintah. Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas
menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
Secara
umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya
pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Jaringan Islam Liberal
Islam Liberal
adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai
berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal
percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah
prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.
Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah
ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami
pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam
semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan
ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang
dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan
semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata
berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan
melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik,
Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban
kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal
mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan)
sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi
yang terkumpul oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran
mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab
penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan
seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
.
d. Meyakini kebebasan
beragama.
Islam Liberal
meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak
perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan
penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel
di internet tentang sejarah Muhammadiyah yang ditulis oleh (Junus Salam,
1968: 33)
Artikel
di internet tentang sejarah dan eksistensi Muhammadiyah yang ditulis oleh
(H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
(http://luqm.multiply.com/journal/item/74).