PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Obat adalah bahan kimia yang
digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau
gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksiyang tidak diharapkan
yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak
organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang, tetapi reaksi kulit merupakan
manifestasi yang tersering.
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi
yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable).
Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua
individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang
telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat
termasuk diantaranya efek samping dan overdosis (kelebihan dosis). Rekasi
simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang
rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek
farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat
pada kulit disebut erupsi alergi obat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian erupsi obat?
2.
Jelaskan epidemiologi erupsi obat?
3.
Jelaskan etiologi erupsi obat?
4.
Jelaskan faktor – faktor risiko erupsi
obat?
5.
Jelaskan patofisiologi erupsi obat?
6.
Jelaskan manifestasi klinis erupsi obat?
7.
Apa saja tanda dan gejala erupsi obat?
8.
Jelaskan diagnosis erupsi obat?
9.
Jelaskan pemeriksaan penunjang erupsi
obat?
10. Bagaimana
penatalaksanaan erupsi obat?
C.
TUJUAN
Tujuan
dari penulisan makalah ini antara lain :
1.
Menjelaskan pengertian erupsi obat.
2.
Menjelaskan epidemiologi erupsi obat.
3.
Menjelaskan etiologi erupsi obat.
4.
Menjelaskan faktor – faktor risiko
erupsi obat.
5.
Menjelaskan patofisiologi erupsi obat.
6.
Menjelaskan manifestasi klinis erupsi
obat.
7.
Menjelaskan tanda dan gejala erupsi
obat.
8.
Menjelaskan diagnosis erupsi obat.
9.
Menjelaskan pemeriksaan penunjang erupsi
obat.
10. Menjelaskan
penatalaksanaan erupsi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Erupsi
obat alergik atau allergic drug eruption
ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Erupsi
obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu
atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran
lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran
yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang
sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama.
B.
EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap
kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah
sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter
diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat – obatan
atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan.
C.
ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda
menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka
kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat
tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap
sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa,
salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah
analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion),
sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan,
klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat
paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
D.
FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT
Adapun faktor – faktor yang
memperbesar risiko timbulnya erupsi obat antara lain :
1.
Jenis
Kelamin
Wanita
mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria.
2.
Sistem
Imunitas
Erupsi alergi
obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun.
3.
Usia
Alergi obat
dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan orang dewasa.
Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang belum sempurna.
Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya berkontak
dengan bahan antigenetik.
4.
Dosis
Pemberian obat
yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi.
Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun
sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
5.
Infeksi dan
Keganasan
Mortalitas
tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai
dengan keganasan.
6.
Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopik
ini masih dalam perdebatan.
E.
PATOFISIOLOGI
Keterangan
:
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi
secara nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan
reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada
pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat
dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak
lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus
berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan
berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.
Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat.
F.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi
alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai
dengan IV).
1.
Tipe
I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator
kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan
kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi
kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang
bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena
pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d)
Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah
suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi
dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai
beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut
sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada
tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase
sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;
b. Fase
aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat
aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual
yang dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase
efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.
2.
Tipe
II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi
sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya
(FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya
berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan
granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe
ini.
3.
Tipe
III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan
terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di
sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu
dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a.
Demam;
b.
Limfadenopati;
c.
Kelainan sendia, artralgia dan efusi
sendi;
d.
Urtikaria, angiodema, eritema,
makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai pruritis;
e.
Lainnnya seperti kejang perut, mual,
neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta
vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian
obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam
waktu 1 – 5 hari.
4.
Tipe IV
Reaksi tipe IV
disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi.
Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen
tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
antara lain :
a.
Cutaneous
Basophil Hypersensitivity;
b.
Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c.
Reaksi tuberkulin;
d.
Reaksi granuloma.
Manifestasi
klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan
hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang –
kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya,
pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah
sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan.
G.
TANDA dan
GEJALA
1.
Bercak
kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki;
2.
Biasanya
berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan demam,
limfadenopati dan nyeri pada mulut.
H.
DIAGNOSIS
1.
Anamnesis
Wawancara
mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk
diagnosis alergi obat karena cara – cara pemeriksaan yang ada sekarang masih
rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu
apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manfestasi alergi obat. Masalah
tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari
satu macam obat.
Hal – hal yang perlu diperhatikan
pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
a.
Riwayat
pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi;
b.
Manifestasi
klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;
c.
Pemakaian
obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitasi obat yang harus diperhatikan;
d.
Diagnosis
alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan
timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama;
e.
Catat
semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang
sebelumnya sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat;
f.
Catat
lama pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul
bila obat diberikan secara berselang – seling, berulang – ulang serta dosis tinggi
secara parental;
g.
Lama
waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada
reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang – kadang gejala alergi
obat baru timbul 7 – 10 hari setelah pemakian pertama.
2.
Uji Kulit
Uji kulit
yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin,
sediaan serum), sedangkan untuk obat – obatan yang lain masih diragukan
nilainya. Hal ini dikarenakan :
a.
Beberapa
macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin)
sehingga uji positif yang terjadi adalah semu;
b.
Konsentrasi
obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat
mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh sebab itu,
sukar untuk menentukan antigennya;
c.
Kebanyakan
reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya,
sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang
dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya
serta obat – obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum
serta vaksin yang mengandung protein telur).
I.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi
adalah :
a.
Pemeriksaan
in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik
yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus
bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya
sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah
diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak
organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
1)
Uji Tempel (patch test)
Uji tempel
sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji
tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah
punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila
terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi.
Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
2)
Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi
kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan
yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya.
Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindarkan positif
palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis
penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat
ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan
uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin,
antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti
pada uji kulit penisilin.
3)
Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan
prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang
memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,
sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema
vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya
tergantung dari masa paruh setiap obat.
b.
Pemeriksaan
in vitro
Uji in
vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan
(basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan
pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen
dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan dari uji ini
untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu
tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
J.
PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan Umum
a.
Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi
penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera;
b.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan
pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau
relaps setelah berada pada fase pemulihan;
c.
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
d.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi
dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan
larutan Darrow.
2.
Penatalaksanaan Khusus
a.
Sistemik
1)
Kortikosteroid
Pemberian
kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid
yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA
karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg
sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan
NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian
terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi
penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG)
terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam.
Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
2)
Antihistamin
Antihistamin
yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali
pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
b.
Topikal
Pengobatan
topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika
dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam
keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk
purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema
fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog
in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle
atau krim sulfadiazin perak.
ASUHAN
KEPERAWATAN ERUPSI OBAT
Analisis
Data
DS :
- Klien
mengeluh sesak nafas
- Klien
mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
DO :
-
Pada kulit dan mukosa mulut terdapat
bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
No
|
Data Subjektif dan Data Objektif
|
Masalah
|
Etiologi
|
1.
|
DS
:
-
Klien mengatakan sesak nafas
|
Gangguan pertukaran
gas.
Definisi : kelebihan
dan kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida di membran kapiler
– aveolar.
|
|
2.
|
DS
:
- Klien
mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
Do
:
- Pada
kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
|
Kerusakan integritras
jaringan
Definisi : suatu
kerusakan pada membran mukossa jaringan korneal integumen atau subkutan
seseorang suatu perubahan pada jaringan tubuh seseorang.
|
Rencana
Asuhan Keperawatan
No
|
Data
Subjektif dan Data Objektif
|
NOC
|
NIC
|
1.
|
Gangguan
pertukaran gas b/d proses sesak
nafas yang di tandai dengan :
DS :
-
Klien mengatakan sesak nafas
|
Pertukaranan CO2
atau O2 di alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas darah
arteri.
|
-
Meningkatkan keseimbangan asam –
basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya
-
Pengelolaan jalan nafas
memfasilitasi kepatenan jalan nafas
|
2.
|
Kerusakan integritas
jaringan b/d kulit dan mukosa mulut
yang di tandai dengan :
DS :
- Klien
mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
DO
:
- Pada
kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
|
Kulit
dan membran mukosa keutuhan struktural dan fungsi fisiologis normal dari kulit serta membran mukosa.
|
Perawatan luka
pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka.
|
Rencana
Tindakan Keperawatan
No
|
Hari/ Tanggal
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Tindakan
|
Rasional
|
1.
|
Selasa, 5 Juni 2012
|
Gangguan pertukaran gas b/d, proses sesak
nafas ditandai
dengan :
DS :
-
Klien mengatakan sesak nafas
|
Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, dengan krieteria hasil:
DS :
-
Klien
mengata kan sesak nafasnya berkurang
DO :
|
Meningkatkan
keseimbangan asam – basa dan mencegah komplikasi akibat dari
ketidakseimbangannya
Pengelolaan
jalan nafas memfasilitasi kepatenan jalan nafas
|
Untuk memperlancar pernafasan klien
Klien mengatakan sesak nafasnya
berkurang
|
2.
|
Selasa, 5 Juni 2012
|
Kerusakan integritas
jaringan b/d kulit dan mukosa mulut
yang di tandai dengan :
DS :
-
Klien mengatakan hal ini terjadi
setelah klien minum obat antibiotik
DO
:
-
Pada kulit dan mukosa
|
Setelah di lakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan integritas kulit berkurang
bahkan hilang dengan hasil yang di harapkan :
Kulit dan
membran mukosa keutuhan
|
Perawatan
luka pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka.
|
Untuk peningkatan penyembuhan luka
Untuk mencegah komplikasi luka yang
bertambah parah
|
Intervensi
No
|
Hari / Tanggal / Jam
|
Implementasi ( DAR )
|
1.
|
Selasa, 5 Juni 2012
|
DS : Klien
mengatakan sesak nafas
P
:
Q:
R
:
S
: 10 - 0
T
: Terus – menerus
A :
-
Mencatat keluhan pasien
-
Meningkatkan keseimbangan asam –
basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya
-
Pengelolaan jalan nafas
memfasilitasi kepatenan jalan nafas
R :
-
Klien mengatakan sesak nafasnya
berkurang
-
Untuk memperlancar pernafasan
klien
|
2.
|
Selasa , 5 Juni 2012
|
DS
:
-
Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien
minum obat antibiotik
DO :
-
Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang
luas dan sebagian terdapat krusta
P
:
Q
:
R
:
S
:
T
:
A :
-
Mencatat keluhan pasien
-
Perawatan luka pencegahan komplikasi
luka dan peningkatan penyembuhan luka.
R :
-
Klien mengatakan dikulit dan
mukosa mulut sudah mulai membaik
-
Untuk peningkatan penyembuhan
luka
-
Untuk mencegah komplikasi luka
yang bertambah parah
|
Evaluasi
No
|
Hari / Tanggal
|
SOAP
|
Paraf
|
1.
|
Selasa, 5 Juni 2012
|
S : Klien mengatakan
sesak nafas
O : -
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutan Intervensi
|
|
2.
|
Selasa, 5 Juni 2012
|
S : Klien
mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
O : Pada
kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutan Intervensi
|
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi
alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat yang biasanya sistemik dan diperkirakan kejadiannya
2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat – obatan. Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan
pirazolon. Adapun faktor risiko alergi obat antara lain jenis kelamin, sistem
imunitas, usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik. Manifestasi
alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I
sampai dengan IV). Tanda dan gejala erupsi obat yaitu bercak kemerahan, eritema, demam,
limfadenopati dan nyeri pada mulut. Diagnosis erupsi obat adalah anamnesis dan
uji kulit. Pemeriksaan penunjang erupsi obat dengan pemeriksaan in vivo serta
in vitro. Sedangkan untuk penatalaksanannya bisa secara umum dan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru W dkk.
2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi
5. Jakarta : EGC.
Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku
Diagnosis keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta
: EGC.
http://wikimed.blogbeken.com/erupsi-alergi-obat
http://kesehatanvegan.com/2010/07/14/erupsi-alergi-obat
http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drug-eruption/
http://www.scrib.com/doc/5571797/ERUPSI-OBAT-ALERGIK
July 30, 2012 at 12:12 AM
postingan yang bagus dan bermafaat tentang makalah erupsi obat