A.    Pengertian
Colitis Ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang terjadi pada usus besar, khususnya bagian kolon desenden sampai rectum.

   B.     Etiologi dan Patogenesis
Penyebab dari colitis ulseratif sangat beragam, meliputi penomena autoimun, faktor genetic, perokok pasif, diet, pascaapendektomi, dan infeksi.
Pada penomena yang diperentarai respon imun, terdapat kelainan humoral dan imunitas yang diperentarai sel dan/atau reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Faktor kerentanan genetic ( kromosom 12 dan 16) adalah faktor yang dikaitkan dengan colitis ulseratif.  Perokok pasif dikaitkan dengan colitis ulseratif, sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadi colitis ulseratif. Faktor komsumsi makanan, khususnya yang tebuat dari susu dapat mengeksaserbasi        ( meningkatkan ) respons penyakit. Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan colitis ulseratif. Infeksi tertentu telah terlibat dalam penyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri atipikal.

   C.     Patofisiologi
Colitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksis, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukkan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma in situ atau dispalsia. Secara anatomis sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.

Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.      Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami peradangan. Pada pasien dengan ulseratif colitis, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon. Perubahan ini disertai dengan peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).
2.      Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan peningkatan secara signifikan tingkat platelet-activating factor (PAF). Pelepasan PAF dirangsang oleh leukotrienes, endotoksin, atau faktor lain yang mungkin bertanggung jawab atas peradangan mukosa, namun proses ini tidak jelas.
3.      Antibody antikolonik telah terdektesi pada pasien dengan ulseratif colitis.
Respons awal colitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya jaringan perut dan pembentukkan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai saluran kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi dengan adanya respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi dari lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal sehingga memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendekan dari usus.
Perubahan peradangan secara mikrokopis jaringan yang mengalami ulkus segera ditutupi oleh jaringan granulasi yang selanjutnya akan merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan polypoidal atau yang dikenal sebagai polip atau peradangan pseudopolip.

D.    Pengkajian
Pengkajian colitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi diagnosis. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan pendarahan rektal.
Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanye disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan feses cair  10 – 20 kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena colitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi colitis ulseratif berat terjadi pada sekitar  10 % dari pasien, didapat keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan colitis yang  parah dapart mengalami komplikasi yang yang mengancam nyawa, termasuk pendarahan darah,  megakolon toksik atau perforasi usus.
Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetic, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan dan merokok perlu di dokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik , seperti DM, hipertensi, dan tuberkolosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian proferatif.
Pengkajian sikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan tingkat keparahan penyakit.pemeriksaan fisik yang di dapatkan sesuai manifestasi klinik yang muncul. Pada colitis ulseratif berat survey umum pasien terlihat lemah dan kesakitan, TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare . suhun badan pasien akan naik  ≥38,50 C dan terjadi takikardiah. Pengkajian berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan dapat  menimbulkan status nutrisi.
Pada pemeriksaan fisik focus akan didapatkan :
1.  Takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi asidosi dalam kasus dehidrasi parah.
2.      Takikardial dapat mewakili anemia atau hipopolemia. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi.
3.      Perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke otak. Pasien dengan episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan mata.
4.      Oliguria dan anuria pada dehidrasi berat.
5.      Inspeksi     :kram abdomen di dapatkan. Perut didapatkan kembung. Pada kondisi    kronis, status nutrisi bisa didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
Palpasi       : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah dan kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan bawah. Sebuah masa dapat teraba menunjukkan abstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun terkait atau kolangitis sklerosis.
Perkusi      : nyeri ketuk dan timpani akibat adanya flatulen.
Auskultasi  : bising usus bisa normal, hi[eraktif atau hipoaktif. Nada gemerincing bernada tinggi dapat ditemukan dalam kasus-kasus obstruksi.
6.      Kelemahan fisik umum skunder dari keletihan dan pemakaian energy setelah nyeri dan diare. Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada penyakit inflamasi usus. Sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku, yang paling sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat terlibat. Pada integumen, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan turgor kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada permukaan ekstensor.
Pengkajian pemeriksaan diagnostic terdiri atas pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan endoskopik.
1.      Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009)
Temukan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi colitis ulseratif mungkin menunjukkan tanda-tanda berikut.
a.       Anemia ( yaitu hemoglobin < 14 g/dL pada pria dan < 12 g/dL pada wanita).
b.      Trombositosis ( yaitu platetet > 350.000/µL).
c.       Peningkatan tingkat sedimentasi ( variable referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan peningkatan C-reactiv protein ( yaitu >100 mg/L). kedua temuan ini berkolerasi dengan aktivitas penyakit.
d.      Hipoalbuminemia ( yaitu albumin < 3,5 g/dl).
e.       Hipokalemia ( yaitu kalium < 3,5 mEq/dL).
f.       Hipomagnesemia ( yaitu magnesium < 1,5 mg/dL).
g.      Peningkatan alkalin fosfatase; lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis sclerosing primer ( biasanya > 3 kali batas atas dari kisaran referensi).
h.     Pada diagnosis colitis ulseratif kronis, pemeriksaan feses yang cermat dilakukan untuk membedakan dengan disentri yang disebabkan oleh organisme usus umum, khususnya Entamoeba histolytica. Feses positif terhadap darah.
            2.      Pemeriksaan radioaktif
a.       Foto polos abdomen
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang parah bisa mengakolon toksik. Selain itu, bukti perforasi, atau ileus juga dapat diamati (Khan, 2009)
b.      Studi kontras barium
barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan.  Dengan barium enema dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus (Carucci, 2002)
c.       CT Scan.
secara umum CT scan memainkan peran kecil dalam diagnosis colitis ulseratif. CT ulseratif  scan dapat menunjukan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis skleorosis.
3.      Prosedur endoskopi
Endoskopi dapat menunjukan mukosa yang rapuh, mukosa terinflasi dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis colitis . tujuan lain dari pemeriksaan ini adalah untuk mendukomenyasian sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas penyakit , dan sebagai surveilans untuk dysplasia atau kanker. Namun , berhati –hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsy pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi lainnya komplikasi (Rajwal, 2004)

DAFTAR PUSTAKA


Muttaqim, Arif & Sari, Kumala Gangguan Gastrointestinal. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.


0 comments :

Post a Comment