A.
PENYESUAIN DIRI
1.
Konsep
Penyesuian Diri (Adjusment)
Pengertian penyesuaian diri awalnya didasarkan pada
ilmu biologi yang di utarakan oleh Charles Darwin dengan teori evolusinya. Ia
mengatakan, “Genetic changes can improve the ability of organisms to
survive, reproduce and in animals, raise off spring, this process is called
adaptation”.
Penyesuian
diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan lingkungannya.
Penyesuaian diri adalah interaksi yang kontinyu dengan diri sendiri dan orang lain serta dunia (James F. Calhoun dan Joan Ross
Acocella).
Penyesuaian diri adalah suatu proses dinamik
terus – menerus yang bertujuan mengubah kelakuan guna mendapatkan hubungan serasi antara diri dan
lingkungan (Mustafa Fahmi).
Penyesuaian
diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau dapat
pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri
(Hariyadi dkk, 2003).
Hurlock
(dalam Gunarsa, 2003), penyesuaian diri yaitu jika seseorang mampu menyesuaikan
diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap kelompoknya dan ia
memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan.
Penyesuaian
diri adalah kemampuan individu untuk dapat bertahan secara psikologis dalam
menghadapi sesuatu yang tidak diharapkannya dengan cara mengorganisasi respon
sedemikian rupa sehingga bisa mengatasi konflik.
Scheneiders
(dalam Yusuf, 2004), penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan
respon – respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi maupun konflik secara sukses serta
menghasilkan hubungan harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau
tuntutan lingkungan dimana dia hidup.
Penyesuaian
diri adalah proses mengubah diri sesuai dengan norma atau tuntutan lingkungan
dimana dia hidup agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan – kebutuhan internal,
ketegangan, frustasi dan konflik sehingga tercapainya keharmonisan pada diri
sendiri serta lingkungannya dan akhirnya dapat diterima oleh kelompok dan
lingkungannya.
2. Sudut Pandang Terhadap Penyesuian Diri (Schneiders)
a.
Penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), umumnya lebih mengarah pada
penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis atau biologis.
b.
Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery), kemampuan untuk merencanakan
dan mengorganisasikan respons dengan cara – cara tertentu sehingga konflik,
kesulitan dan frustrasi tidak terjadi.
c.
Penyesuaian diri sebagai bentuk
konformitas (conformity), individu
seakan – akan
mendapat tekanan kuat untuk selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan
perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional.
3.
Proses Penyesuian Diri
Penyesuaian
yang sempurna itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu, penyesuaian diri
lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong process) dan
tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat. Penyesuaian terjadi jika
manusia selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya
dimana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan dimana semua fungsi
organisme berjalan normal. Respons penyesuaian, baik atau buruk, secara
sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk menjauhi
ketegangan dan memelihara kondisi keseimbangan sutau proses kearah hubungan
yang harmonis. Dalam proses penyesuaian diri dapat saja muncul konflik, tekanan
dan frustasi serta individu didorong meneliti berbagai kemungkinan perilaku
untuk membebaskan diri dari tegangan. Individu dikatakan berhasil dalam
melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara –
cara yang wajar atau diterima oleh lingkungannya.
4.
Karakteristik
Penyesuaian Diri
a. Penyesuian Diri Secara Positif
Tanda –
tandanya :
1) Mampu dalam
belajar.
2) Menghargai
pengalaman.
3) Bersikap
realistik dan objektif.
4) Tidak
menunjukkan adanya frustasi pribadi.
5) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
6) Tidak menunjukkan adanya mekanisme psikologis.
7) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
5) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
6) Tidak menunjukkan adanya mekanisme psikologis.
7) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
Bentuk –
bentuknya :
1) Penyesuaian
dengan belajar.
2) Penyesuaian
dengan pengendalian diri.
3) Penyesuaian
dengan perencanaan yang cermat.
4) Penyesuaian
dengan trial and error (coba – coba).
5) Penyesuaian
dengan substansi (mencari pengganti).
6) Penyesuaian
diri dengan menggali kemampuan diri.
7) Penyesuaian
dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan).
8) Penyesuaian
dengan menghadapi masalah secara langsung.
b. Penyesuian Diri yang Salah
Bentuk –
bentuknya :
1)
Reaksi melarikan diri, tampak pada tingkah laku
berfantasi, banyak tidur, minum – minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu
ganja, narkotika dan regresi.
2)
Reaksi bertahan, individu berusaha untuk
mempertahankan dirinya seolah –olah tidak menghadapi kegagalan. Bentuknya bisa
Rasionalisasi, represi dan proyeksi.
3)
Reaksi menyerang, berupa keras kepala, bersikap balas
dendam, marah secara sadis, selalu membenarkan diri sendiri, menunjukkan sikap
menyerang dan merusak, mau berkuasa dalam setiap situasi, menunjukkan sikap
permusuhan secara terbuka, bersikap senang mengganggu orang lain serta
menggertak secara ucapan maupun perbuatan.
5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyesuian Diri
a. Penentu
kultural (agama).
b. Kondisi lingkungan
(keluarga dan sekolah).
c. Kondisi –
kondisi fisik (susunan saraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan serta
penyakit).
d. Perkembangan
dan kematangan (kematangan intelektual, sosial, moral serta emosional).
e. Psikologis
(pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penentu diri atau self – determination,
frustrasi serta konflik).
6. Aspek – Aspek Penyesuian Diri
a. Penyesuian Pribadi
Adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri
sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa
benci, lari dari kenyataan, dongkol, kecewa atau tidak percaya pada kondisi
dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau
kecemasan yang menyertai rasa bersalah, cemas, tidak puas, kurang dan keluhan
terhadap nasib. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan
keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib
diakibatkan adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh
lingkungan.
b. Penyesuian Sosial
Adalah pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai
dengan aturan, hukum, adat serta nilai – nilai yang
dipatuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan – persoalan
dalam kehidupan sehari – hari.
7.
Macam
– Macam Penyesuaian Diri
a.
Penyesuaian
Diri Terhadap Keluarga
1) Mempunyai
kesadaran adanya otoritas orang tua.
2) Mempunyai
relasi yang sehat dengan segenap anggota keluarga.
3) Mempunyai
kesadaran adanya emansipasi serta kemerdekaan taraf kedewasaan.
4) Mempunyai
kesadaran bertanggung jawab menjalankan aturan – aturan larangan
secara disiplin.
5) Mempunyai
solidaritas dan loyalitas keluarga serta membantu usaha keluarga dalam mencapai
tujuan tertentu.
b.
Penyesuaian
Diri Terhadap Sosial
1) Kesanggupan
mengadakan relasi yang sehat terhadap masyarakat.
2) Kesanggupan
menghargai orang lain mengenai hak – hak dan pribadinya.
3) Kesanggupan
untuk bergaul dengan orang lain dalam bentuk persahabatan.
4) Kesanggupan
bereaksi secara efektif dan harmonis terhadap kenyataan sosial.
5) Kesanggupan
menghargai dan menjalankan hukum tertulis maupun tidak tertulis.
6) Adanya
simpati terhadap kesejahteraan orang lain. Berupa memberi pertolongan pada
orang lain, bersikap jujur, cinta kebenaran, rendah hati dan lain – lain.
c.
Penyesuaian
Diri Terhadap Sekolah
1) Pengakuan
otoritas guru atau pendidik.
2) Tertarik
terhadap mata pelajaran di sekolah.
3) Disiplin
dalam sekolah terhadap peraturan – peraturan yang
ada.
4) Situasi
dan faslitas yang cukup, sehingga tujuan sekolah dapat tercapai.
d.
Penyesuaian
Diri Terhadap Perguruan Tinggi
1) Dapat
belajar menyesuaikan diri di tempat kelak bekerja.
2) Siap
menghadapi persaingan, ulet dalam menghadapi segala persoalan.
3) Pengembangan
kepribadian seimbang yaitu dapat memenuhi tuntutan ilmiah, jasmani dan rohani
yang sehat serta tanggung jawab sosial.
e.
Penyesuaian
Diri Terhadap Jabatan
1) Sudah
matang dalam memegang jabatan.
2) Senang
dan mencintai jabatan dan pekerjaannya.
3) Bercita
– cita
atau berusaha mencapai kenajuan setingkat demi setingkat.
f.
Penyesuaian
Diri Terhadap Perkawinan
1) Harus
ada kesadaran terhadap hakekat perkawinan.
2) Harus
ada kesediaan untuk menjaga kelangsungan perkawinan.
3) Saling
mengerti, saling memberi dan menerima (to
take and to give).
B. FRUSTASI
1. Konsep Frustasi
Secara
etimologi frustasi berasal dari bahasa Yunani (frustatio), berarti perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang
dalam mencapai tujuan dan Inggris (frustration)
berarti kekecewaan.
Frustasi adalah keadaan dimana seseorang sedang kalut, terlalu banyak
masalah dan tekanan sehingga tidak dapat menyelesaikan masalahnya.
Frustrasi
adalah reaksi emosional seseorang ketika keadaan lingkungan dirasa menghalangi
atau menghambat pencapaian tujuannya (Leonard Berkowitz, 1995).
Frustasi adalah rintangan tingkah laku untuk mencapai sasaran atau suatu
keadaan ketegangan yang tidak menyenangkan dan dipenuhi kecemasan (JP. Chaplin,
2006 : 201).
Frustasi adalah keadaan kejiwaan tertentu yang timbul pada diri seseorang
saat ia berada dalam situasi dimana kebutuhan tidak terpenuhi atau kehendak
tidak terpuaskan (Singgih Gunarsa, 2003 : 101).
Frustrasi merupakan perasaan seperti marah atau
kesalahan akibat tidak mampu melakukan sesuatu, karena kondisi luar tidak
seperti yang diinginkan (Richard Bugelski dan Anthony M Graziano, 1980).
2. Sumber – Sumber Frustasi
a. Charles N. Cofer dalam Slamet Santoso (2010 : 123)
4)
Physical barrier yakni
berasal dari keadaan fisik seperti : tinggi badan dan kaki pendek sebelah.
5)
Personal deficiencies yakni
berasal dari kekurangan pribadi seperti : kurang pandai, rendah diri dan
pendiam.
6)
Uncooperative social
arrangement yakni berasal dari kekurangan kerja sama pengaturan sosial seperti :
kurang berinteraksi sosial, menyendiri dan ragu – ragu.
b. David Kretch dan Richard S. Crutchfield dalam Slamet
Santoso (2010 : 123)
1)
The physical environmental yakni
berasal dari lingkungan fisik seperti orang haus di padang pasir dan tidak ada
air, menyebabkan frustasi.
2)
The biological limitation yakni
berasal dari keterbatasan biologis individu sendiri.
3)
Psychological complexity yaitu
berasal dari suasana psikologis dalam diri individu yang kompleks dan mungkin
bertentangan akibat ketidaksesuaian lingkungan psikologis dengan kebutuhan dan
tuntutan.
4)
The social environmental yakni
berasal dari lingkungan menyebabkan individu mengalami frustasi dalam
bertingkah laku sosial, seperti adanya norma – norma sosial.
c. Singgih Gunarsa (2003 : 102)
1)
Diri pribadi sendiri, karena kelemahan, ketidakmampuan
atau cacat yang terjadi dalam diri sendiri.
2)
Lingkungan alam (fisik), misalnya ingin menyebrangi
sungai tidak bisa karena terlalu dalam dan arusnya deras sekali.
3)
Keadaan objeknya sendiri, tujuan objek itu tidak
sesuai dengan harapan sebelumnya.
4)
Adanya konflik, dengan adanya motif yang saling
bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif akan menyebabkan frustasi
bagi motif lain. Frustasi konflik ini dapat timbul dari tiga maca konflik yaitu
konflik mendekat – mendekat, konflik menjauh – menjauh dan konflik mendekat – menjauh.
4. Reaksi atau Dampak Frustasi
a. Reaksi Frustasi Bersifat Positif (Tristiadi, 2007)
1)
Kompensasi atau subtitusi dari tujuan
Kompensasi adalah
usaha untuk mengimbangi kegagalan dan kekalahan dalam satu bidang, tapi sukses
dan menang dibidang lainnya.
2)
Membuat dinamika nyata suatu hubungan
Kebutuhan –
kebutuhan bisa lenyap dengan sendirinya, karena sudah tidak diperlukan oleh
seseorang dan tidak sesuai lagi dengan kecenderungan serta aspirasi pribadi.
3)
Mobilitas dan penambahan aktivitas
Misalnya karena
mendapat rintangan dalam usahanya, maka terjadilah pemanggilan rangsangan untuk
memperbesar energi, potensi, kapasitas, sarana, keuletan, keberanian untuk
mengatasi segala kesulitan.
4)
Sublimasi
Yaitu usaha untuk
mengganti kecenderungan egoistik, nafsu seks animalistik, dorongan – dorongan
biologis primitif dan aspirasi sosial yang tidak sehat dalam bentuk tingkah
laku terpuji sehingga bisa diterima di masyarakat.
5)
Regignation (tawakal, pasrah pada Tuhan)
Menerima situasi
dan kesulitan yang dihadapi dengan sikap yang rasional dan sikap ilmiah. Semua
ini bisa dilakukan jika mulai belajar menggunakan pola yang positif dalam
menanggulangi setiap kesulitan sejak masih berusia sangat muda.
6)
Besinung (berfikir secara mendalam disertai dengan
wawasan jernih)
Setiap frustasi
memang memberikan masalah, maka dari itu kejadian ini memaksa orang untuk
melihat realitas dengan mengambil satu jarak untuk berfikir lebih objektif dan
lebih mendalam agar dapat mencari jalan atau alternatif penyelesaian lain.
b. Reaksi Frustasi Bersifat Negatif (Tristiadi,
2007)
1)
Identifikasi adalah usaha menyamakan diri sendiri
dengan orang lain.
2)
Proyeksi adalah usaha melemparkan kelemahan sikap diri
yang negatif pada orang lain.
3)
Narsisme, perasaan superior, merasa dirinya penting dan
disertai dengan cinta diri yang patologis dan berlebihan.
4)
Agresi yaitu kemarahan yang meluap – luap dan
mengadakan penyerangan secara kasar karena seseorang mangalami kegagalan.
5)
Fixatie merupakan suatu respon individu yang selalu
melakukan sesuatu yang bentuknya stereotipi artinya selalu memakai cara yang
sama.
6)
Autisme, gejala menutup diri secara total dari dunia
nyata dan tidak mau berkomunikasi lagi dengan dunia luar yang dianggap kotor
dan jahat, penuh kepalsuan mengandung bahaya yang mengerikan.
7)
Regresi, kembalinya individu pada pola – pola primitif
dan kekanak – kanakan. Hal ini didorong kecewa atau pun tidak mampu memecahkan
masalah dan merupakan ekspresi dari rasa menyerah, kalah, putus asa serta
mental lemah.
8)
Rasionalisme adalah cara untuk menolong diri secara
tidak wajar atau taktik pembenaran diri dengan jalan membuat sesuatu yang tidak
rasional dengan tidak menyenangkan. Misalnya seseorang yang gagal melakukan
tugas akan berkata, bahwa tugas tersebut terlalu berat baginya darinya karena
ia masih muda.
9)
Pendesakan dan komplek – komplek terdesak. Pendesakan
adalah usaha untuk menghilangkan atau menekan ketidaksadaran beberapa
kebutuhan, pikiran – pikiran jahat. Karena didesak oleh keadaan yang tidak
sadar, maka terjadilah kompek – komplek terdesak yang sering mengganggu
ketenangan batin berupa mimpi – mimpi yang menakutkan, delusi, ilusi, salah
baca dan lain – lain.
5. Cara Mengatasi Frustasi
Untuk mengatasi frustasi seseorang perlu memiliki semacam tingkat
atau kadar toleransi terhadap frustasi. Toleransi terhadap frustasi ini
sebaiknya dilatih sejak kanak – kanak. Orang tua harus mengajarkan kepada
anaknya, bahwa sesuatu itu tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita
harapkan. Sesuatu yang diinginkan anak – anak tidak akan selalu didapatkan.
Mulai dari hal – hal yang kecil, orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk
sesekali merasakan kecewa karena tidak mendapatkan sesuatu yang mereka
inginkan. Perlu juga orang tua memperlihatkan alternatif atau kemungkinan lain
sebagai pengganti, sehingga anak – anak juga belajar melihat kemungkinan lain
selain yang diharapkannya. Diharapkan pada masa dewasa anak – anak sudah
terlatih menghadapi kekecewaan dan lebih tahan banting terhadap rasa frustasi. Pada
orang dewasa, toleransi frustasi dapat dilatih dengan realistis dalam
mengahadapi kenyataan dan tidak meletakkan harapan yang terlalu tinggi.
Seseorang juga perlu memperluas pergaulan untuk meningkatkan wawasan terhadap
kemungkinan atau peluang lain yang sebetulnya mampu dia raih.
6.
Solusi Pencegahan Frustasi
a. Memahami
bahwa frustasi itu tidak baik menurut akal sehat kita.
b. Memahami
bahwa berbagai peristiwa yang lahiriahnya buruk sejatinya sering merupakan
kebaikan.
c. Memahami
kebenaran bahwa Tuhan tidak membebani segala sesuatu kepada kita kecuali
sebatas apa yang kita mampu.
d. Memahami
bahwa mengatasi frustasi merupakan metode untuk sampai pada solusi dan harapan
selamanya akan datang setelah berbagai kesulitan.
e. Seimbang
dalam kritik. Sesungguhnya kritik itu harus bersifat obyektif dan seimbang.
Ketika kita menyampaikan kritik dan melewati batasnya, maka hal itu akan
mengantarkan pada frustasi.